SKRIPSI DALAM BAHASA CASUAL

2/8/17

SKRIPSI DALAM BAHASA CASUAL


Sebenarnya ini tidak serius amat, bukan sesuatu yang urgent ditindaklanjuti secara akademis (Apalagi ide ini keluar dari saya yang tidak pernah menulis skripsi di kampus, dan DO (drop out) 2 kali dari kampus seni di Jogja).

Sepintas kemarin, gegara gerimis mengundang di sepanjang Malioboro nan khusuk, sambil melihat para mahasiswa nongkrong di Nol KM, tulisan ni terlintas. Ide saya sederhana saja:

"Apa yang terjadi seandainya banyak paper dan skripsi (yang notabene berbahasa akademis santun dan EYD itu) ditulis dengan bahasa yang lebih rilek nan asoy (casual) ?"

 

Bahwa skirpsi adalah tersangka sebagai biang penyebab 'kemacetan lulus' di perguruan tinggi di Indonesia, itu seperti sebuah ‘kutukan abadi’. Peng-kambinghitam-an turun-temurun itu muncul jika pertanyaan ini dilontarkan ke mahasiswa:

    "Kapan Lulus?".

    Jawaban idemnya selalu saja:

    "Sebentar lagi, tinggal skripsi masbro".

Hmm, absurd sekali! Jawaban ini bisa berarti bahwa skripsi BELUM DIMULAI. Atau sudah selesai kuliah tapi malas mengerjakan, dan rentetan jawaban pembenaran lainnya. Bisa diplesetkan menjadi "SKRIPSINYA DITINGGAL" atau bahkan belum mau memulai skripsi sama sekali.

Rata-rata alasan yang saya dengar dari teman-teman mahasiswa adalah SUSAH MENULIS skripsi. Apalagi dengan bahasa baku ala "Badudu". Belum lagi intimidasi footnote dan daftar pustaka yang menandakan penulisnya "ngakademis" alias mengutip pemikiran-pemikian buku. Maka harus rajin baca buku.

Pengajuan proposal dan judul juga berbelit nan panjang, mirip kereta barang. Dosen pembimbing yang mulai 'nge-pop' dengan jadwal 'pentas kelilingnya' yang panjang, hingga susah ditemui bak selebriti. Belum lagi bayangan riset yang harus dilakukan ketika proposal disetujui. Lalu tiba-tiba seorang teman mengetuk pintu dan berkata:

"Santai masbro, dipikir karo udud! Ngindomie yuk?"

... dan, wuusss! (seketika sang calon sarjana itu menghilang dibalik warung)

BUDAYA NONGKRONG

Banyak mahasiswa justru belajar secara akademis tidak saja dikelas. Di jogja sebagian besar waktu mereka (baca: mahasiswa) adalah berdiskusi di angkringan, burjonan, bahkan sepanjang trotoar malioboro. Ini menarik menurut saya.

Seorang teman dari utara Amerika, Kanada, pernah membuat sebuah tesis menarik yang isinya kurang lebih membahas tentang dampak (sakti) 'nongkrong' terhadap kreatifitas di Yogyakarta. Topik ini dipilih karena selama menimba ilmu di Jogja, Ia mengamati perilaku mahasiswa yang waktunya banyak "dilampiaskan" untuk nongkrong.

Nongkrong disini tidak selamanya bersifat konotatif. Karena kebanyakan nongkrongnya bareng mahasiswa juga, maka yang terjadi adalah diskusi mirip dikampus, dikelas, bedanya SKS-nya lebih dari 6. Diskusi menjadi hidup diiringi asap kopi joss, disaksikan secara bisu oleh gorengan dan dimeriahkn oleh nasi kucing. Hingga larut menjelma menjadi fajar (halah).

Kembali ke ulasan bahasa skripsi. Saya lalu berimajinasi, jika saja cara penulisannya bisa bebas, artinya tidak terikan bahasa yang terlalu kaku, maka bisa jadi skripsi akan lebih menarik dikerjakan, ngepop istilahnya.

Lalu tulisan "ngilmiah" tersebut dimasukkan dalam blog, di-online-kan, dan dibaca banyak orang. Hal yang sering saya temui di kampus adalah, banyak skripsi tertimbun bak harta karun di perpustakaan kampus atau gudang arsip, bersemayam bersama rayap-rayap kelaparan, jarang atau bahkan tidak pernah disentuh atau dipublikasikan ke publik. Sayang sekali!

Jika bahannya menarik saya pikir banyak penerbitan antri untuk mencetaknya dalam bentuk buku. Yah, minimal berhasil berlomba diantara buku-buku di toko sekarang, yang rata-rata bagus dan manis bungkus covernya saja. Isinya? Belum tentu seindah bungkusnya!

SUSAH MEMULAI?


Tak ayal, memulai sesuatu memang butuh energi besar. Kebanyakan kesulitan menulis, ada sejak langkah pertama. Momok setia yang menghantui penulis skripsi. Katanya.

Beda halnya menulis ratusan kata dalam timeline facebook> Lancar! Apalagi menkritisi politik dan media abal-abal. Ketikkannya bisa secepat kilat dan hanya butuh 11 jari saja. Alias jempol-jempol itu.

Menurut buku "Menulis Secara Populer" terbitan Pustaka Jaya:
-- teknik berbahasa itu berubah dari masa ke masa. Manusia berubah, budaya berubah, dan teknik berbahasa pun berubah menurut zaman --

Bisa jadi bahasa seperti ini pun akan segera tergantikan oleh jaman yang berbeda. Gaya penulisan bisa juga sebagai penanda jaman.

Bukankah menulis sama halnya dengan berkomunikasi? Jika inti dari komunikasi tersebut tidak tercapai atau gagal paham, bagaimana dong?

Baiklah, sekali lagi ini tak terlalu penting, gaes! (hoam)

---

Teruntuk: Para skripsiwan dan skripsiwati, jangan baper ya


0 komentar :