Berawal sebuah pertanyaan di timeline FB saya:
Kenapa Feature Film Animasi 2D (apalagi 3D) di Indonesia Baru 1X Tayang di Bioskop?
Muncul berbagai tanggapan mengenainya, selengkapnya disini:
https://www.facebook.com/hizaro/posts/10154969970548664
Lalu kemudian saya mencoba menulis beberapa alternatif jawaban untuk menanggapinya, dalam bentuk status juga.
INI BIANG PRODUKSI ANIMASI JADI MAHAL! #1
Salah satu yang
bikin mahal produksi animasi adalah harga softwares yang muahal.
Beberapa (banyak) kreator/studio memilih jalan pintas dengan MEMBAJAK
(mungkin kultur pertanian berpengaruh). Pilihan sih, terserah saja!
Kaum-kaum open source beserta komunitasnya, lebih mencari solusi
daripada mengeluh atau mengikutinya. Karena perubahan tidak akan menjadi
suatu perubahan, sampai perubahan benar-benar terjadi. Demikian, mereka
menciptak
an FREE & OPEN SOURCE SOFTWARES.
Nah, untuk 2D animasi berbasis hand drawing Krita Foundation menciptakan software KRITA buat umat manusia yang ada di seluruh dunia (halah).
Silakan coba, 'saestu' ngga usah pakai CRACK! Ndak perlu sembunyi dan
malu menggunakan software LEGAL ini. GRATIS pulak! (Meskipun free disini
lebih ditujukan pada arti kebebasan/freedom).
Tutorialnya? Ngga
usah manja ah! Youtube banyak, tinggal search saja. Kalao mau yang
berbasis project animasi, saya juga bikin untuk film animasi
Roda Pantura. Ayoklah, lanjut nggambar atau mbikin animasi pakai KRITA.
*Ikuti komunitasnya di KRITA INDONESIA (FB)
INI BIANG PRODUKSI ANIMASI JADI MAHAL! #2
7 tahun lalu, ketika
saya memutuskan untuk keluar dari sebuah perusahaan game developer di
Jakarta, saya menyiapkan sebuah STRATEGI. Bulan Agustus 2009, berbekal
sedikit pengetahuan akan Open Source, kemudian nekat membuat forum
animasi 3D Blender Indonesia. Pemikirannya sederhana banget. Saya INGIN
membuat film animasi feature dengan 100% FOSS (free & open source
softwares). Kelak!
Kenapa? Ya, karena waktu itu kaget saat hitung mengh
itung
dan mengkalkulasi biaya pembuatan animasi dengan software BERBAYAR.
MAHALNYA! Bayangkan 1 software 3D suite saya bisa mencapai 25jt s.d
35jt, belum software desain, office, atau pun OS (Operating System).
Ampun!
2006 saya menemukan
Blender 3D,
sebuah FENOMENA BARU di bidang CGI. 3D software AMPUH dan teruji
profesional. Komunitasnya tersebar di seluruh dunia, karya-karya
berbasis Blender 3D mulai menggeser standar Industri CG dunia.
Saya lalu mulai mengopreknya dan beberapa kali membuat proyek-proyek
iseng. Sesekali menulis artikel, membuat tutorial, lalu membaginya ke
forum, Youtube atau FB. Sampai kemudian perusahaan yang saya dirikan
bareng teman-teman terancam bangkrut. Ya akhirnya bangkrut! Hal ini
MEMICU saya untuk kemudian aktif sebagai 'penggerak' berbagai komunitas
di berbagai daerah di Indonesia. Tak terasa, kini Blender 3D sudah
menjadi GAYA HIDUP 3D artist di Indonesia, berkat para BLENDER ARMY
INDONESIA di berbagai regional.
Berbagai karya berbasis Blender
lalu muncul beragam di Indonesia, dari film pendek, Iklan s.d TV series.
Komunitasnya ramai dan seru. Dari Aceh sampai Manado. Kemudian saya
punya IDOLA baru, founder Blender Institute, legenda sang dibalik
code-code ampuh software ini.
Ton Roosendaal.
5 tahun kemudian saya beruntung bisa menghabiskan 5 jam bersama beliau
di markas Blender Institute, Amsterdam. Berasa 'sowan simbah'. Lalu
curhat sambil minum beer tradisional bersama para team Gooseberry
project.
Beliau ini yang mengubah perilaku Industri CG (computer
graphic). Ia sendiri yang membukakan pintu studio dan memberikan banyak
pencerahan selama perbincangan kami.
"Silakan masuk, anggap saja
rumah sendiri ya. Kamu tau, sebagian besar kota ini juga kotamu kan? Ya,
karena di masa lampau 'kami pernah mencurinya' dari Indonesia. Ah, itu
masalalu. Sekarang saya menggantinya dengan membuat Blender ini untuk
kalia
(Saya, Chonie, dan Ton lalu tertawa renyah)
"Open source adalah soal kontribusi!"
--
Terimakasih untuk rekan-rekan komunitas
Blender Army Indonesia yang telah menemani perjalanan selama 7th ini. Mari ber-EVOLUSI, Lagi!
INI BIANG MAHALNYA PRODUKSI ANIMASI #3
Sebuah komputer canggih hanya akan menjadi rongsok jika tiada yang bisa
menggunakannya. Kita tahu bahwa, orang dibalik layar adalah kunci dari
semuanya. Sumber daya manusia (SDM). Di status sebelumnya, soal kenapa
biaya produksi animasi mahalnya tak terkira, SDM yg minim dan langka
adalah salah satu penyebabnya.
Kira-kira seperti inilah hemat saya.
Animasi di negeri ini bukanlah hal baru, tetapi bukan hal yang terlalu
dibutuhkan. Perut, tempat tinggal, dan kebutuhan hedonis masih "lebih
penting" diutamakan. Skip! Konon menurut wiki dan cerita-cerita yg
datanya blm terlau jelas, animasi sudah mulai ada paska kemerdekaan,
1955. Sejak saat itu pula terjadi status quo. Maksudnya? Karya-karya
lain baru muncul selang 20an tahuun kemudian (Huma, dll). Singkatnya th
90an ada beberapa yg berhasil masuk TV nasional (googling aja). Baru
kemudian tahun 2000an mulai marak setelah era digital. Animasi menjadi
prioritas setelah industri advertising dan TV mulai membuahkan hasil.
Faktor lain adalah 'heroik' karena merasa tersaingi oleh negara sebelah.
Klasik! Cukup, saya tak akan membahas sejarah disini.
Tidak bisa
dipungkiri, jejalan film-film animasi asing baik via bioskop, vcd
bajakan, hingga internet, menjadikan animasi menjadi tontonan
alternatif. Setelah kenal, suka, maka lahirlah komunitas/forum-forum
animasi. Baik yang membahas teknis, atau hanya sekedar kumpul-kumpul
ringan. Persepatan industri dan kebutuhannya, memacu kebutuhan akan SDM
animasi. Jelas! Kalo ngga, siapa yang bikin? Maka muncul pula komunitas
yg lebih serius, juga adanya penjurusan minat di ranah pendidikan
(biasanya dari DKV atau IT).
Agak disayangkan konten animasi di
bioskop kita cenderung memihak arus mainstream. Hollywood! ya iyalah,
bisnis hanya percaya satu ideologi, profit. Sehingga film-film
berkualitas baik dari distributor-distributor Eropa, Jepang, kurang
terakomodir. Cilakanya pula, film-film Hollywood tersebut berbasis
CGI/film 3D. Maka, sebagian besar arah industri bertumpu kesana.
Film-film 2D dan berbasis handcraft jarang sekali ada di etalase
bioskop.
Apa yang terjadi kemudian? Ya, berbondong-bondong semua
belajar animasi langsung keranah komputer grafis. Sementara skill-skill
fundamental/dasar semacam drawing, painting, atau animasi tradisional
kurang dikuasai/enggan dipelajari. Karena kebutuhan Industrinya adalah
3D. Animator pemula sudah merasa cukup jika skill 3D atau software
komputer grafisnya level menengah. Belum lagi skill dasar seperti
ACTING, sepertinya tidak pernah menjadi prioritas.
Bertahun
setelah mengalami sendiri industri, mereka baru tersadar bahwa ranah CGI
adalah MAHAL. Tidak pernah terbayang, sebelum terjun secara
profesional, soal harga software, hardware, hingga tetekbengek lainnya.
3D artist kebanyakan hanya sampai level 'Portofolio'untuk bekerja pada
tempat yang bisa MENGGAJI sesuai level mereka yang sudah semakin tinggi
(senior).
Mau turun gunung membuat studio sendiri tanggung
dananya. Mau membuat IP sendiri, tenaganya sudah tersedot pekerjaan
service utama. Padahal banyak yang tahu, ada yang bisa dikerjakan dengan
handcraft. Apa daya, sudah kaku tangan dan habis tenaga.
Hubungannya dengan langkanya SDM?
Ya, secara tidak langsung, industri mempengaruhi citarasa. Teknologi
cdpata sdkali berkembang, film yang hari inij kita tonton, tiba-tiba
besok sudah menjadi 'kuno' secara kualitas grafisnya. Sementara jika
mengurangi level, malah jadi sepertinorg ajaran (pemula). Mau tak mau,
industri membutuhkan SDM yg levelnya 'tinggi'. Bisa jadi karena
kebanyakan mengerjakan service untuk pasar Amerika atau Canada. Seperti
kita tahu, bahwa untuk level pemula saja dibutuhkan waktu sekitar 2-3th
intensif belajar. Intensif! Banyak kendala disini soal fokus belajar.
Mau ngga mau, banyak studio yg pada akhirnya, 'rebutan' SDM
profesioinal.
Pasar 2D bukannya tidak ada disini. Banyak dari
animator yang mengerjakan in between untuk pasar Jepang, Korea, US,
Malaysia. Saya sering melihat, skil rata-rata mereka pun sudah 'level
dewa'. Walaupun disana, level tersebut 'biasa-biasa aja'. Khusus untuk
animasi 2D, jaman sekarang lebih susah ditemukan. Selain skill
handrawing yang semakin langka, siapa juga yang mau menggambar dengan
target sekitar 20.000 s.d 30.000 gambar sebulan kelar? Tanpa attitude
dan fokus tinggi, tak ada yang mampu. Gaji minim pulak.
Sementara negara ini tropis bung! Everyday is sunday
:-)
Sekolah? Sekolah disini sebagian besar mengedepankan bisnis!
Para
ahlinya ada di industri, mereka sibu. Biasanya belajar mandiri, tak
paham pipeline, tidak bisa dipekerjakan langsung di Industri. Butuh
waktu lagi 'mengajari lulusan kreatif' ini. Apalagi SMK, guru-gurunya
sebagian besar adalah guru yg diperbantukan, masih merangkap banyak mata
pelajaran, dan sekali lagi kurikulum nasionalnya lemah. Boro-boro
menguasai skill 2D dengan baik, menggambar aja 90% hancur, sisanya bisa
bagus kalau 'dipaksa'. Lalu sebagai gantinya, skill komputer yg dikejar,
balik maning ke 3D! Seringkali, ini yang saya temui dilapangan sejak
2009.
Kerap kali saya dimintai portofolio SDM untuk direkrut, disaat yg sama, stoknya tipis alias sudah 'dipakai'studio lain.
Apa solusinya?
...bersambung ya:-)