ANIMASI KIAN SEKSI
Ini adalah artikel tentang animasi Indonesia di koran Bussines Weekend. Ada beberapa peryataan saya mengenai perkembangan animasi di Indonesia.
Berikut wawancara lengkap saya dengan wartawan media tersebut:
1.
Bisa diceritakan sejak kapan menjadi animator? Mengapa memilih
profesi ini?
Saya
memutuskan mempelajari animasi sejak 2004 dan baru bekerja di bidang
ini th 2007, ketika itu menjadi 3D artist di sebuah perusahaan game
online yang kami dirikan bersama teman-teman di Jakarta.
Animasi
ini sebenarnya adalah rangkuman perjalanan karir saya sejak 1998
menjadi desainer grafis dan pencarian media berekspresi. Kebetulan
sejak remaja saya bermain musik, craft, menggambar, advertising,
menulis, dan membuat kegiatan seni di perumahan tempat saya tinggal,
di Jogja. Saya cepat bosan dan akhirnya saya menemukan bidang yang
tidak pernah membuat saya merasa bosan. Sampai saat ini saya terus
belajar dan mengembangkan diri melalu proyek-proyek yang saya buat
sendiri atau bersama rekan-rekan komunitas saya.
Berbagai
kegiatan dan karya saya bisa dibaca/dilihat di website:
www.hizaro.com
2.
Karya apa saja yg sudah dihasilkan?
Tahun
2008 bersama rekan perusahaan mengembangkan Game Online “Rose
Online” Indonesia. Lalu tahun 2009-sekarang saya mendirikan
komunitas animasi 3D bernama “Blender Indonesia”. Melahirkan
project-project pilot untuk melatih skill dan membuat dokumentasi
dalam bentuk buku, tutorial online, maupun dalam bentuk DVD tutorial.
Saya kembangkan proyek-proyek tersebut untuk saya bagikan kepada
komunitas saya. Goal saya adalah membuka jalan alternatif berkarya
melalui Free & Open Source Softwares. Isu pada saat itu adalah,
hampir seluruh produk kreatif di Indonesia menggunakan
software-software bajakan, salah satunya karena kurangnya edukasi di
tataran pemula.
Nah,
setelah Open Source software menjadi ‘gaya hidup’ pada Industri
profesional, dan komunitas ini matang, pada tahun 2014, saya
mengikuti sebuah program pengembangan film pendek animasi bersama IFI
(Institute Francais Indonesia). Proyek film saya “Roda Pantura”
terpilih mengikuti pitching di program ‘Animation Du Monde’ pada
festival ANNECY, France 2015. Ini lompatan besar bagi saya sebagai
animation director bisa berpartisipasi pada salah satu festival
animasi terbesar didunia. Sepulang dari sana, proyek film 18 menit
ini saya selesaikan di bulan Juni 2016, dan sekarang sedang sibuk
saya daftarkan ke berbagai festival film animasi dunia, semoga bisa
menembus salah satunya.
3.
Bagaimana tantangan industri animasi dan animator saat ini?
Sebagai
animator, tentunya animasi sendiri punya tantangan dari segi teknis
dan story. Sedang produk akhirnya bisa saya bagi menjadi 3 industri
besarnya, yaitu:
1.
Film
2.
Game 3. Broadcasting (penyiaran) – saya jawab yg film.
Tantangannya
adalah besaing di Global Market. Kita tahu sendiri, walaupun
Indonesia sudah mengenal animasi sejak 1955 namun Industrinya sendiri
baru tumbuh sekitar tahun 90-an, bisa jadi karena biaya produksinya
mahal, ilmunya masih sedikit yang tahu. Lalu di era 2000 pesat
berkembang setelah komputer, televisi, dan internet mulai menjadi
bagian hidup masyarakat. Sebuah keuntungan sekaligus menantang.
Disebut
keuntungan karena biaya pembuatan animasi lebih terjangkau dengan
adanya software yang memudahkan dan bisa didownload melalui internet.
Disebut menantang karena distribusi produk-produk Internasional yang
sberkualitas serta sangat besar jumlahnya masuk dengan mudah disini.
Tentu harganya lebih variatif dan prospeknya besar, sebagai negara
yang jumlah penduduknya massive ini. Tentu kalau mau bersaing, harus
mempunyai kualitas minimal sama dengan mereka. Juga bagaimana bisa
mendistribusikannya ke media-media populer seperti TV, Internet, dll.
Itu butuh biaya yang besar, dan investasi yang mahal. Sedangkan
investor dan pengembang yang tertarik kepada bisnis animasi sendiri
masih sedikit, masih melihat animasi sebagai “hiburan semata”,
padahal banyak varian animasi yang bisa dikembangkan secara bisnis
maupun sarana edukatif. Contohnya produk turunan animasi seperti
merchandise (mainan, kaos, dan pernik-pernik lainnya) juga produk
edukatif seperti buku cerita, dvd interaktif, dll.
Melihat
dari tantangan diatas, konten adalah point paling penting. Animasi
bukan cuma produk dan film saja, lebih dari itu animasi adalah story.
Story mempengaruhi masyarakat dan mendorong mereka untuk memiliki
produknya. Artinya bedanya produk animasi dengan produk fungsional
lainnya adalah: produk animasi dijual dengan scerita/story. Untuk
yang satu ini, kita masih harus banyak belajar bercerita malalui
animasi.
4.
Peluang apa yang tersedia bagi animator lokal saat ini?
Peluangnya
banyak. Pada tataran kecilnya animator bisa membuat film secara
mandiri (Independent), membangun komunitas (fanbase) dan menjual
merchandisenya. Atau mengikutsertakan karyanya di festival film
dunia, mencari market global di eropa, amerika, atau jepang misalnya.
Peluang
lain adalah bekerja dan berkarya pada studio-studio (in House) besar
di Jakarta, Jogja, Batam, atau Bali bahkan Singapore atau Malaysia.
Mendapat fasilitas, gaji lumayan, hingga ikut mengerjakan proyek2
animasi kelas dunia.
Bahkan
jika malas hijrah ke suatu tempat/negara, bisa menjadi freelance
animator dan bekerja secara remote dari rumah masing-masing. Ini
banyak dilakukan oleh animator yang sudah senior/pernah bekerja
secara profesional selama lebih dari 5 tahun lalu membawa
pekerjaannya ke rumah.
Bisa
juga mengikuti komunitas online dan forum-forum animasi di Internet.
Ikut mengerjakan animasi bersama-sama (open movie) dengan animator
lain di seluruh dunia berbasis cloud. Satu yang perlu diingat disini
adalah, animasi adalah universal. Pasarnya ada dimana-mana, kecil,
sedang atau besar. Tidak terbatas ruang dan waktu.
5.
Bagaimana persaingan dengan animator asing?
Animator
dimana-mana sama menurut saya, tidak ada kata ‘asing’. Jika kita
sudah masuk ke Industri profesional, yang ada adalah level dan jam
terbang, bukan lagi negara/teritorial tertentu. Ukurannya adalah
Portofolio/artworks. Jika portofoliomu bagus dan bersaing, maka sudah
tentu bisa bersaing global. Bahkan tak perlu harus lulus sekolah
tertentu/berijasah!
6.
Apa yang harus dilakukan para animator pemula untuk terus berkembang?
Berdasarkan
pengalaman saya adalah, menguasai basic animasi dan prinsip-prinsip
dasarnya. Jika masuknya ke animator 2D ya harus bisa menggambar
manual/digital. Mengembangkan diri melalui challenge-challenge yang
banyak diadakan oleh forum-firum online di Internet. Mengambil
tanggung jawab yang lebih besar dari waktu ke waktu, serta membangun
jaringan lokal/internasional
7.
Beberapa besar kebutuhan industri animasi terhadap animator itu
sendiri?
8.
Benarkah indonesia kekurangan animator?
Jawaban
7 dan 8:
Secara
kuantitas sih besar peluang masuk ke Industri, namun industri sendiri
sudah mencapai kualitas tinggi, sayangnya SDM berkualitas masih
minim. Jika pun ada, masih harus diasah/dicobakan bekerja beberapa
waktu (3 bulan atau lebih). Dan ini membutuhkan penanganan extra,
bisa jadi tidak semua studio di Industri mempunyai waktu luang untuk
itu. Maka disini peran komunitas sangat penting, untuk mengembangkan
diri dan sharing knowledge. Seperti yang saya terangkan diatas, bahwa
kualitas animasi harus bisa berkualitas global.
Industri
lebih tepatnya kekurangan animator berkualitas dan langsung bisa
dipakai/dipekerjakan.
Kalau
mau sebenarnya studio-studio besar mulai menjalin kerjasama dengan
komunitas untuk ikut mengembangkan SDM secara external, atau
mensupport komunitas untuk mengadakan workshop/pelatihan khsus guna
memenuhi kebutuhan industri. Untuk hal ini masih belum dilakukan,
mereka (studio besar) biasanya mmilih ‘repot’ mengadakannya
sendiri secara internal, tidak masalah jika punya waktu luang. Yang
sudah-sudah biasanya main ‘comot-comotan’ atau estafet. SDM yg
berkualitas bisa lompat dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain, atau
dihubungi dan ditawari gaji lebih tinggi memakai sistem kontrak kerja
jangka waktu tertentu.
Jarang
yang mau capek-capek mendidik atau mempercayakan proyek-proyek
profesional kepada animator pemula.
9.
Benarkah kurikulum yg diajarkan di sekolah-sekolah animasi (misalnya
SMK) tidak sesuai dengan kebutuhan industri?
Saya
sendiri kurang begitu tahu detail, karena tidak intens mengajar di
SMK atau Institusi. Tetapi dari pengalaman menjadi studio PKL selama
7 tahun belakangan ini, ditambah menjadi Juri dan Narasumber berbagai
kompetisi, workshop, seminar, saya bisa katakan Ya, benar! Darimana?
Dari hasil akhir karya-karya mereka. Kualitasnya.
Bisa
jadi kualitasnya menurun karena kurikulum yg kurang sempurna, atau
kekurangan tenaga guru yg profesional. Saya ihat di banyak SMK
guru-gurunya jarang/tidak pernah terlibat bekerja di Industri
animasi. How come?
Oke,
jika memang tidak, kenapa tidak menjalin kerjasama dengan
profesional/komunitas untuk meningkatkan kualitas didik animasi SMK?
Jika
sudah dan tetap jelek kualitasnya, mungkin saja memang kualitas
generasi yang kurang. Faktornya macam-macam, karakter, pola asuh,
gangguan internal/eksternal, dll.
10.
Saat ini mulai bermunculan serial animasi lokal di tv nasional,
bagaimana anda melihatnya?
Saya
lihat bagus sih, saya mengamati berulai dari 2011. Hampir sebagian
besar para animatrnya adalah anggota komunitas Blender Indonesia, dan
beberapa studio yang mengerjakannya menggunakan software Blender 3D
sebagai pipeline utama.
Saya
pikir pemicu utamanya adalah Upin-Ipin. Banyak kreator ‘tergerak’
karena serial dari Malaysia ini berhasil mengambil pasar dan
mempengaruhi anak-anak di Indonesia. Posisitf sih, dan memang
Upin-Ipin bagus. Namun terkadang kita baru bergerak/terbakar
nasionalismenya setelah melihat ‘kreator asing’ mulai menguasai
pasar. Haha..
Tetapi
sebenarnya tidak itu saja, animasi secara bisnis mulai
diperhitungkan, mulai banyak investor menanam modal melalui animasi.
Ini karena mereka sadar bahwa animasi adalah bisnis IP (interlectual
property), yang mahal biayanya namun bisa dimiliki hak ciptanya
sepanjang masa, lintas generasi.
...
Semoga Bermanfaat
0 komentar :
Post a Comment