ANIMASI KIAN SEKSI

2/8/17

ANIMASI KIAN SEKSI



Ini adalah artikel tentang animasi Indonesia di koran Bussines Weekend. Ada beberapa peryataan saya mengenai perkembangan animasi di Indonesia. 

Berikut wawancara lengkap saya dengan wartawan media tersebut:

1. Bisa diceritakan sejak kapan menjadi animator? Mengapa memilih profesi ini?

Saya memutuskan mempelajari animasi sejak 2004 dan baru bekerja di bidang ini th 2007, ketika itu menjadi 3D artist di sebuah perusahaan game online yang kami dirikan bersama teman-teman di Jakarta.

Animasi ini sebenarnya adalah rangkuman perjalanan karir saya sejak 1998 menjadi desainer grafis dan pencarian media berekspresi. Kebetulan sejak remaja saya bermain musik, craft, menggambar, advertising, menulis, dan membuat kegiatan seni di perumahan tempat saya tinggal, di Jogja. Saya cepat bosan dan akhirnya saya menemukan bidang yang tidak pernah membuat saya merasa bosan. Sampai saat ini saya terus belajar dan mengembangkan diri melalu proyek-proyek yang saya buat sendiri atau bersama rekan-rekan komunitas saya.

Berbagai kegiatan dan karya saya bisa dibaca/dilihat di website: www.hizaro.com

2. Karya apa saja yg sudah dihasilkan?

Tahun 2008 bersama rekan perusahaan mengembangkan Game Online “Rose Online” Indonesia. Lalu tahun 2009-sekarang saya mendirikan komunitas animasi 3D bernama “Blender Indonesia”. Melahirkan project-project pilot untuk melatih skill dan membuat dokumentasi dalam bentuk buku, tutorial online, maupun dalam bentuk DVD tutorial. Saya kembangkan proyek-proyek tersebut untuk saya bagikan kepada komunitas saya. Goal saya adalah membuka jalan alternatif berkarya melalui Free & Open Source Softwares. Isu pada saat itu adalah, hampir seluruh produk kreatif di Indonesia menggunakan software-software bajakan, salah satunya karena kurangnya edukasi di tataran pemula.

Nah, setelah Open Source software menjadi ‘gaya hidup’ pada Industri profesional, dan komunitas ini matang, pada tahun 2014, saya mengikuti sebuah program pengembangan film pendek animasi bersama IFI (Institute Francais Indonesia). Proyek film saya “Roda Pantura” terpilih mengikuti pitching di program ‘Animation Du Monde’ pada festival ANNECY, France 2015. Ini lompatan besar bagi saya sebagai animation director bisa berpartisipasi pada salah satu festival animasi terbesar didunia. Sepulang dari sana, proyek film 18 menit ini saya selesaikan di bulan Juni 2016, dan sekarang sedang sibuk saya daftarkan ke berbagai festival film animasi dunia, semoga bisa menembus salah satunya.



3. Bagaimana tantangan industri animasi dan animator saat ini?

Sebagai animator, tentunya animasi sendiri punya tantangan dari segi teknis dan story. Sedang produk akhirnya bisa saya bagi menjadi 3 industri besarnya, yaitu:

1. Film 2. Game 3. Broadcasting (penyiaran) – saya jawab yg film.

Tantangannya adalah besaing di Global Market. Kita tahu sendiri, walaupun Indonesia sudah mengenal animasi sejak 1955 namun Industrinya sendiri baru tumbuh sekitar tahun 90-an, bisa jadi karena biaya produksinya mahal, ilmunya masih sedikit yang tahu. Lalu di era 2000 pesat berkembang setelah komputer, televisi, dan internet mulai menjadi bagian hidup masyarakat. Sebuah keuntungan sekaligus menantang.

Disebut keuntungan karena biaya pembuatan animasi lebih terjangkau dengan adanya software yang memudahkan dan bisa didownload melalui internet. Disebut menantang karena distribusi produk-produk Internasional yang sberkualitas serta sangat besar jumlahnya masuk dengan mudah disini. Tentu harganya lebih variatif dan prospeknya besar, sebagai negara yang jumlah penduduknya massive ini. Tentu kalau mau bersaing, harus mempunyai kualitas minimal sama dengan mereka. Juga bagaimana bisa mendistribusikannya ke media-media populer seperti TV, Internet, dll. Itu butuh biaya yang besar, dan investasi yang mahal. Sedangkan investor dan pengembang yang tertarik kepada bisnis animasi sendiri masih sedikit, masih melihat animasi sebagai “hiburan semata”, padahal banyak varian animasi yang bisa dikembangkan secara bisnis maupun sarana edukatif. Contohnya produk turunan animasi seperti merchandise (mainan, kaos, dan pernik-pernik lainnya) juga produk edukatif seperti buku cerita, dvd interaktif, dll.

Melihat dari tantangan diatas, konten adalah point paling penting. Animasi bukan cuma produk dan film saja, lebih dari itu animasi adalah story. Story mempengaruhi masyarakat dan mendorong mereka untuk memiliki produknya. Artinya bedanya produk animasi dengan produk fungsional lainnya adalah: produk animasi dijual dengan scerita/story. Untuk yang satu ini, kita masih harus banyak belajar bercerita malalui animasi.

4. Peluang apa yang tersedia bagi animator lokal saat ini?

Peluangnya banyak. Pada tataran kecilnya animator bisa membuat film secara mandiri (Independent), membangun komunitas (fanbase) dan menjual merchandisenya. Atau mengikutsertakan karyanya di festival film dunia, mencari market global di eropa, amerika, atau jepang misalnya.

Peluang lain adalah bekerja dan berkarya pada studio-studio (in House) besar di Jakarta, Jogja, Batam, atau Bali bahkan Singapore atau Malaysia. Mendapat fasilitas, gaji lumayan, hingga ikut mengerjakan proyek2 animasi kelas dunia.

Bahkan jika malas hijrah ke suatu tempat/negara, bisa menjadi freelance animator dan bekerja secara remote dari rumah masing-masing. Ini banyak dilakukan oleh animator yang sudah senior/pernah bekerja secara profesional selama lebih dari 5 tahun lalu membawa pekerjaannya ke rumah.

Bisa juga mengikuti komunitas online dan forum-forum animasi di Internet. Ikut mengerjakan animasi bersama-sama (open movie) dengan animator lain di seluruh dunia berbasis cloud. Satu yang perlu diingat disini adalah, animasi adalah universal. Pasarnya ada dimana-mana, kecil, sedang atau besar. Tidak terbatas ruang dan waktu.

5. Bagaimana persaingan dengan animator asing?

Animator dimana-mana sama menurut saya, tidak ada kata ‘asing’. Jika kita sudah masuk ke Industri profesional, yang ada adalah level dan jam terbang, bukan lagi negara/teritorial tertentu. Ukurannya adalah Portofolio/artworks. Jika portofoliomu bagus dan bersaing, maka sudah tentu bisa bersaing global. Bahkan tak perlu harus lulus sekolah tertentu/berijasah!

6. Apa yang harus dilakukan para animator pemula untuk terus berkembang?

Berdasarkan pengalaman saya adalah, menguasai basic animasi dan prinsip-prinsip dasarnya. Jika masuknya ke animator 2D ya harus bisa menggambar manual/digital. Mengembangkan diri melalui challenge-challenge yang banyak diadakan oleh forum-firum online di Internet. Mengambil tanggung jawab yang lebih besar dari waktu ke waktu, serta membangun jaringan lokal/internasional

7. Beberapa besar kebutuhan industri animasi terhadap animator itu sendiri?
8. Benarkah indonesia kekurangan animator?

Jawaban 7 dan 8:
Secara kuantitas sih besar peluang masuk ke Industri, namun industri sendiri sudah mencapai kualitas tinggi, sayangnya SDM berkualitas masih minim. Jika pun ada, masih harus diasah/dicobakan bekerja beberapa waktu (3 bulan atau lebih). Dan ini membutuhkan penanganan extra, bisa jadi tidak semua studio di Industri mempunyai waktu luang untuk itu. Maka disini peran komunitas sangat penting, untuk mengembangkan diri dan sharing knowledge. Seperti yang saya terangkan diatas, bahwa kualitas animasi harus bisa berkualitas global.

Industri lebih tepatnya kekurangan animator berkualitas dan langsung bisa dipakai/dipekerjakan.

Kalau mau sebenarnya studio-studio besar mulai menjalin kerjasama dengan komunitas untuk ikut mengembangkan SDM secara external, atau mensupport komunitas untuk mengadakan workshop/pelatihan khsus guna memenuhi kebutuhan industri. Untuk hal ini masih belum dilakukan, mereka (studio besar) biasanya mmilih ‘repot’ mengadakannya sendiri secara internal, tidak masalah jika punya waktu luang. Yang sudah-sudah biasanya main ‘comot-comotan’ atau estafet. SDM yg berkualitas bisa lompat dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain, atau dihubungi dan ditawari gaji lebih tinggi memakai sistem kontrak kerja jangka waktu tertentu.

Jarang yang mau capek-capek mendidik atau mempercayakan proyek-proyek profesional kepada animator pemula.



9. Benarkah kurikulum yg diajarkan di sekolah-sekolah animasi (misalnya SMK) tidak sesuai dengan kebutuhan industri?

Saya sendiri kurang begitu tahu detail, karena tidak intens mengajar di SMK atau Institusi. Tetapi dari pengalaman menjadi studio PKL selama 7 tahun belakangan ini, ditambah menjadi Juri dan Narasumber berbagai kompetisi, workshop, seminar, saya bisa katakan Ya, benar! Darimana? Dari hasil akhir karya-karya mereka. Kualitasnya.

Bisa jadi kualitasnya menurun karena kurikulum yg kurang sempurna, atau kekurangan tenaga guru yg profesional. Saya ihat di banyak SMK guru-gurunya jarang/tidak pernah terlibat bekerja di Industri animasi. How come?

Oke, jika memang tidak, kenapa tidak menjalin kerjasama dengan profesional/komunitas untuk meningkatkan kualitas didik animasi SMK?

Jika sudah dan tetap jelek kualitasnya, mungkin saja memang kualitas generasi yang kurang. Faktornya macam-macam, karakter, pola asuh, gangguan internal/eksternal, dll.


10. Saat ini mulai bermunculan serial animasi lokal di tv nasional, bagaimana anda melihatnya?

Saya lihat bagus sih, saya mengamati berulai dari 2011. Hampir sebagian besar para animatrnya adalah anggota komunitas Blender Indonesia, dan beberapa studio yang mengerjakannya menggunakan software Blender 3D sebagai pipeline utama.

Saya pikir pemicu utamanya adalah Upin-Ipin. Banyak kreator ‘tergerak’ karena serial dari Malaysia ini berhasil mengambil pasar dan mempengaruhi anak-anak di Indonesia. Posisitf sih, dan memang Upin-Ipin bagus. Namun terkadang kita baru bergerak/terbakar nasionalismenya setelah melihat ‘kreator asing’ mulai menguasai pasar. Haha..

Tetapi sebenarnya tidak itu saja, animasi secara bisnis mulai diperhitungkan, mulai banyak investor menanam modal melalui animasi. Ini karena mereka sadar bahwa animasi adalah bisnis IP (interlectual property), yang mahal biayanya namun bisa dimiliki hak ciptanya sepanjang masa, lintas generasi.


...
Semoga Bermanfaat

0 komentar :