Jawa, Saya, dan Nilai

2/10/17

Jawa, Saya, dan Nilai


Terlahir dan dididik dari keluarga Jawa, besar dan berproses di pulau Jawa, tidak lantas menjadikan saya 'Orang Jawa'. Sejak kecil saya memang tak asing dengan basa Jawa ngoko sampai kromo hinggil, gending dan uyon-uyon, lelaku, dan budaya orang-orang Jawa tradisional. Lantas, apakah saya puas dan sudah menjadi orang Jawa sepenuhnya? Secara fisik, hardware, ya saya akui! Namun secara cara berpikir, software, ternyata belum sepenuhnya saya lakukan/lakoni. Ternyata saya masih sangat jauh dari standar etika, filosofi, dan cara hidup seorang Jawa.

Sejak sekolah SD hingga kuliah, dari membaca hingga menulis, berhitung hingga menggambar, semua teori dan metodenya saya dapatkan dari cara-cara ilmu pengetahuan/sains modern. Buku-buku modern. Ya, cara filsuf-filsuf dunia dan berbagai teorinya sudah terlanjur tertelan, berhitung cara-cara eropa, hingga bermusik do re mi fa sol-nya musik barat, lalu selalu saja bermimpi mengunjungi tempat-tempat penting disana. Sementara, berziarah dan mengunjungi tempat-tempat para leluhur pun malas, beribu alasan, hingga berbagai kesempatan tak kunjung terlaksana, minim.

Jangankan ziarah, membabat cerita wayang ramayana pun sepertinya berat sekali, sementara ratusan bacaan & buku-buku lainnya kulahap sejak sekolah. Lebih kecil lagi, menulis Jawa saja saya tidak pernah becus! Palagi menonton pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk? Ah, seperti sesuatu yang jauh untuk diraih, namun susah untuk menyelesaikannya :(

Suatu ketika, 2012, saya beranikan diri untuk menantang diri sendiri belajar seni Wayang kulit, terutama jagad pedalangannya. Beruntung tahun itu juga, saya tercatat kembali sebagai mahasiswa seni di Bantul, sebagai mahasiswa baru lagi (setelah 5 tahun sebelumnya DO sebagai mahasiswa seni rupa). CUEK! Toh niat saya baik, belajar sebuah peradaban tertinggi dalam budaya nenek moyang Jawa. Apa yang terjadi kemudian?






Setelah berproses selama satu semester, tiba saatnya saya mengikuti ujian pertama mendalang selama 2 jam. Belum masuk lakon/penokohan. Rasanya seperti masuk kedalam 'tungku oven', keringat sebesar biji jagung, isi otak berantakan, mulut kacau melagukan tembang, naskah menjadi amburadul, hingga tertawaan penonton yang terdiri dari para dalang senior, calon dalang, dosen, hingga masyarakat umum. Isi otak saya sama dengan isi otak rekan saya yang belajar wayang dari Mexico, kami sama-sama kosong. Tetapi, saya lebih malu karena saya adalah orang Jawa! Duh, dimana kutitipkan raut muka ini? Skip...skip...skip, yang pasti adalah DO untuk kedua kalinya.

Kiamat? Setidaknya 2 jam itu Ya!


 


Meskipun hari itu saya merasa gagal++, dan mungkin menjadi pementasan pertama dan terakhir dalam dunia pedalangan dibawah blencong, tetapi setidaknya saya pernah mencobanya. Saya pernah melakoni proses proses singkatnya, walaupun hasinya 'jelek saja belum'. Jawa, menjadi pertimbangan pertama-tama dalam setiap langkah kemanapun. Namun pikiran yang terbuka dan mengglobal, tetap harus dijaga dan dikembangkan. Saya tidak pernah tahu apa makna dari semua lelakon tersebut, apa gunanya menjadi 'Jawa kembali'. Entahlah!


2 tahun kemudian beberapa hal dari pelajaran wayang dan nilai-nilainya saya terapkan dalam film animasi saya hingga bisa membawa saya kembali masuk dalam 'tungku oven' sebuah festival animasi terbesar dunia, di Annecy - Perancis. Kali ini saya dan produser menjalani semacam presentasi project di depan para audience animasi dunia, tentu tidak memakai kromo hinggil, bahasa Inggris. Mudah? Lebih susah jelas. Skip...skip.


Sepulang dari Eropa, saya lalu menata diri. Selain membawa PR besar, pun menata diri untuk mendalami nilai-nilai Jawa saya. Buku-buku kembali saya baca, pentas-pentas seni didatangi, kaset-kaset tradisional kujejalkan, kemudian diolah dan dijadikan tatanan baru dalam berproses apapun selanjutnya. Sampai sekarang? Ya! Karena semakin tinggi kau tanamkan pohonmu, maka semakin dalam kau harus siapkan akarmu. Begitu nasihat para sopir yang kutemui sepanjang Pantura kemarin.


Siapa kamu sebenarnya! Sudah menjadi Jawa? Entahlah, yang jelas bukan menjadi eropa, arab, china, amerika, atau India. Terlalu jauh dari itu semua itu, terlalu banyak waktu jika kupikirkan mereka.

"Tak akan ku teguk benar nilai-nilai lainnya, JIKA nilai-nilai yang membesarkanku saja belum sempat kuhabiskan!"


Bantul, 12 Januari 2017 - edisi kangen wayang


(Matur nuwun kagem para guru, dalang, penatah wayang, konco, lan sedaya ingkang sampun mulang sabar wonten ing jagad pewayangan)

0 komentar :