“KREATIF” ITU MEMBOSANKAN, INOVASI ITU ASIK (bag 1)
Kata KREATIF belakangan ini menjadi
trend dikalangan industri di Indonesia. Kreatifitas menjadi komoditi
baru yang diperkirakan bisa mendulang devisa negara. Sehingga
pemerintah “latah” dengan mendirikan cabang kementrian baru,
Kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif.
Tidak ada yang salah dengan hal ini.
Saya hanya ingin menguji pendapat saya mengenai kreatifitas. Walaupun
saya lebih senang dengan kata INOVASI. Dalam kamus saya inovasi lebih
dekat dengan cara berpikir rakyat Nusantara (baca: Indonesia).
---
KREATIF (adjective)
1. 1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; 2 bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yg -- menghendaki kecerdasan dan imajinasi;
ke·kre·a·tif·an n perihal kreatif
ke·kre·a·tif·an n perihal kreatif
INOVASI | Noun
1. 1 pemasukan atau pengenalan hal-hal yg baru; pembaharuan: -- yg paling drastis dl dasawarsa terakhir ialah pembangunan jaringan satelit komunikasi; 2 penemu-an baru yg berbeda dr yg sudah ada atau yg sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat);
meng·i·no·va·si·kan v menampilkan sesuatu yg baru; mem-perbaharui: sebaliknya setiap satu atau dua tahun para perancang Indonesia dapat ~ perubahan yg sifatnya massal
meng·i·no·va·si·kan v menampilkan sesuatu yg baru; mem-perbaharui: sebaliknya setiap satu atau dua tahun para perancang Indonesia dapat ~ perubahan yg sifatnya massal
(sumber: artikata.com)
'Swalayan Surga'
Kita beruntung hidup di sebuah zona
ruang dan waktu yang bernama Nusantara. Kekayaan tropis yang kita
miliki sunggu tidah ada habis-habisnya. Saya tidak akan bertele-tele
menyebutknyanya, dunia sudah paham dan sedang mengincarnya.
Oleh karena alam sudah “bekerja”
dengan alami, maka kita tinggal membagi waktu untuk menuainya dengan
gembira. Berbagai budaya di tanah air ini sudah sangat cukup
menceritakannya. Sehingga muncul berbagai sudut pandang budaya yang
beragam yang bisa “dijual” oleh orang-orang berpikiran bisnis.
Berangkat dari hal ini, maka kita terbiasa dengan proses menanam tongkat, kayu menjadi tanaman dan menunggu masa panen tiba. Biasnya sambil menunggu, nenek moyang kita bersosialisasi sehingga tercipta inovasi budaya. Milai dari adat istiadat, bahasa, sampai pada teknologi untuk menunjang keseharian. Dari penelusuran hasil budaya tersebut, kita tahu bahwa sebagian besar terbuat dari hasil alam yang dirangkai menjadi 'benda baru' untuk meningkatkan produktifitas masyarakat.
Diera sebelum ada NKRI, masyarakat kita
terbiasa dengan cara barter. Sebuah sistem tidak tertulis untuk
berbagi kebudayaan. Mulai dari alat-alat pertanian, hingga menyangkut
hukum adat yang bercampur begitu rupa dan rumit jika kita urai lagi.
Namun sebenarnya inilah cara kita mencatat sebuah peradaban, tidak
dengan tulisan, namun lisan berbentuk tembang, atau ARAN (nama) atau
simbol (semiotika). Singkat kata, kebiasaan masyarakat kita adalah
INOVASI. Sampai suatu ketika datanglah sebuah ERA NEGARA &
INDUSTRI.
Sistem (yang) 'Gumunan'
Kebiasaan berubah setelah terdapat
sebuah sistem aturan baru dari kesukuan menjadi sebuah kesatuan
bernama negara. Sebuah negara adalah sebuah hukum baru. Perbedaan
disatukan dalam bahasa, bendera, bangsa, dll. Tragisnya ini hanya
sebuah sistem yang mencontoh kebiasaan barat. Dimana terdapat sebuah
perbedaan ekstrim antara barat dan timur. BARAT cenderung disiplin,
logis, spesialis, individu, sehingga menciptakan (to create) hal yang
belum ada menjadi ada. Seperti teknologi satelit, pesawat, internet,
dll. Sedangkan TIMUR adalah sosial, alam, massa, generalis, kurang
disiplin, humanis, hingga menciptakan spiritual yang tinggi mulai
dari kebatinan hingga ke ranah agama dan inovasi budaya yang majemuk.
Sayangnya, sifat umum dari masyarakat
adalah cenderung gumunan (gampang heran) terhadap sesuatu yang baru.
Terutama jika hal tersebut berasal dari luar negeri. Kebanyakan
menganggap ideologi dan sifat modern kebaratan itu adalah sempurna.
Tradisi mulai ditinggalkan, akarnya dicabut, spiritnya dihilangkan.
Alhasil, terpaksa (mau tidak mau) arus modern menjadi sebuah ideologi
yang “tidak biasa” dianut menurut kebiasaan diatas.
Sesuatu yang humanis (sentuhan tangan)
dan customize mulai diindustrikan (diperbanyak). Sebagai imbalannya,
karya dan jasa tidak lagi diganti hal serupa, maka “secarik kertas”
sebagai penggantinya (baca: uang). Tentu saja karya yang tadinya
dibuat dengan 'sentuhan' manusiawi dengan waktu yang sangat luang
mulai dipercepat dengan datangnya mesin pengganda. Seketika
masyarakat menjadi tidak peka lagi terhadap yang namanya proses
inovasi. Yang ada adalah permintaan pasar, pasar, dan pasar!
Frustasi? Ya! Sangat frustasi.
Lihatlah, satu demi satu tanah-tanah warisan nilainya lebih rendah
dari KURS yang inflasinya 'diatur' oleh entah berantah, SOLD OUT!.
Sementara anak-anak kita memiliki kesenangan baru dengan mesin yang
berjalan (baca: motor/mobil), gadget, dan teknologi lain yang
penggunaannya kurang tepat. Sementara media menguras isi otak dan
menggantikannya dengan 'iming-iming modern'. Tentu saja semua menjadi
terbuai, dan proses inovasi tersebut menjadi hilang entah kemana.
Industri adalah sebuah kedisiplinan,
logika yang logis, mekanisme yang beraturan, terdiri dari
spesialis-spesialis yang tergabung dalam sebuah teamwork. Ada sebuah
'pemaksaan' kebiasaan dari agraris ke industrialis. Penuh cucuran
keringat, dan butuh waktu yang lama untuk merubah pola tersebut.
Belum sampai menyamakan pola, gempuran lain mulai berdatangan. Belum
terbiasa mendisiplinkan belajar membaca dan menulis, mendegarkan,
sudah digempur arus MULTIMEDIA, dan kita penontonnya. Komplitlah
sudah otak motorik, kacau sistemnya.
Sementara kekuatan sebenarnya dari
masyarakat kita adalah proses budayanya, bukan banyaknya hasil
budaya. Dengan demikian aktor budaya (pelakunya) menjadi sangat
penting, karena disinilah kedahsyatan peradaban bermula. Sebagai
contoh sang Mpu yang menciptakan keris dengan kualitas adiluhung, dan
customize. Sentuhan hmanis pada keris adalah sebuah kelebihan yang
tidak bisa dilakukan dengan mesin yang mekanis. Apalagi diperbanyak
(cloning).
Kegagapan inilah yang menjadi boomerang
bagi kita. Jelas kalau standar barat, maka sampai kapanpun kita akan
ketinggalan. Mereka lebih dulu memulai dan berproses dengan berbagai
metode logisnya. Sementara itu industri yang seragam adalah
pengkerdilan bathin yang berpengaruh pada spiritual. Semuanya runyam
karena kapitalisme, yang berarti uang secarik kertas.
INOVASI
Tidak ada yang salah dengan industri
jika bijak menyikapinya. Jika kita bisa mengendalikan arusnya dengan
baik. Pada level ini rakyat sudah tidak bisa berpengaruh banyak,
politiklah yang bisa mengatasinya. Kacaunya, orang yang kita percaya
di level pemimpin sudah terjebak politik uang. Keinginan sesaat dan
korup. Korupsi diciptakan oleh sistem guna menyulut kesenjangan dan
perbudakan industri.
Dalam industri yang 'katanya' kreatif
ini, dimana posisi kita. Apakah akan selalu berkiblat ke globalisasi
barat?
Ada sebuah cerita menarik ketika saya
berjalan-jalan di alun-alun kidul Yogyakarta. Disana saya menemui
seorang pengamen transgender (kalau banci terlalu kasar) yang
menggunakan sebuah Speaker Active Portable dengan teknologi audio MP3
dalam MMC (Memory Card Reader). Mas/Mbak tersebut menyelipkan speaker
tersebut di belahan dadanya yang palsu. Ia menari-nari layaknya
diatas panggung untuk kemudian menarik uang recehan sebagai imbalan.
Dari ilustrasi ini saya mengambil
kesimpulan, Inovatif! Ya, karena jika kita berpikir kreatif, maka
yang kita lakukan adalah membuat sendiri speaker active portable,
MMC, batere, mp3, dan teknologi lainnya. Butuh waktu sangat lama dan
sepertinya saya tidak yakin kita mencapai kesana 100%, peniti saja
impor!. Ia hanya butuh berinovasi dengan teknologi, dirangkai dengan
teknologi lain dan jadilah sebuah alat untuk mencari pemasukan. Ini
yang saya namakan inovasi. Tidak perlu repot kreatif membuat sesuatu
yang belum ada menjadi ada, tetapi mengkonversi (mengubah) fungsi
teknologi dengan sedikit inovasi saja.
Sekali lagi, sejarah bangsa ini adalah
berinovasi. Bersekutu dengan alam dan proses untuk menghasilkan
budaya baru yang dinamakan inovasi. Semoga Anda tahu yang saya
maksud. Hanya dengan mengubah pola pikir kreator menjadi inovator,
segalanya berubah. Saya sangat yakin menjadi lebih baik.
... bersambung
0 komentar :
Post a Comment