1:06 AM
Unknown
Sejarah mencatat animasi modern bangsa
ini dari sejak Dukut Hendronoto (1955), Huma (1980-an), dan generasi dibawahnya
telah mengalami sebuah
QUO VADIS selama puluhan tahun. Baru setelah
generasi 90-an jaraknya semakin menyempit. Tahun 2000-an menjadi
tahun yang produktif untuk mencatat perkembangan animasi Indonesia.
Seiring dengan bermunculnya teknologi hardware dan software, media
baru, pendidikan berbasis seni dan teknologi, dan perkembangan dunia
internet.
Quo vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah: "Ke mana engkau pergi?"
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Quo_vadis
Sampai tahun ini, animasi karya lokal
yang disajikan dalam jaringan broadcast (TV) masih bisa dihitung
dengan jari. Bukan karena kualitasnya saja, namun lebih kepada sistem
yang membingungkan. Saya tidak akan membahasnya, karena sampai
sekarang saya pribadi (bungung) masih senang mengekplore teknis bercerita dan
style animasi. Belum tertarik untuk masuk ke sebuah industri besar.
Masih asik dengan komunitas, bertemu dan belajar bersama banyak
orang, dan sesekali membuat animasi. Saya punya cerita yang bisa
dianalogikan dalam bentuk lain untuk perkembangan animasi Indonesia.
Begini ceritanya.
Karir
Saya memulai karir dunia kreatif mulai
sejak 1998 hingga 2009, dimulai dari menjadi seorang desainer
kemasan, buku, layouter, 3D modeler, games, hingga memilih “pensiun”
dini di usia 30th. Artinya sudah selama 11 tahun saya mengalami
proses dari belum apa-apa menjadi semakin bingung dan “tersesat”
di tenggah rimba industri. Maka di tahun 2009 saya memilih untuk
bersenang-senang dan mendirikan komunitas. Dalam 4 tahun ini, hasil
bersenang-senang tersebut menjadi berbagai cabang kesenangan lain
yang membuat penasaran lain untuk lebih meningkatkan kesenangan.
Bingung? Baiklah saya akhiri melanturnya. Langsung smasuk ke masalah
salary. Nantinya ada hubungannya dengan bersenang-senang. Karena
kesenangan butuh biaya juga.
Saya memulai karir sebagai desainer
kemasan di sebuah perusahaan internasional di kota Kudus. Disinilah
saya mendapat banyak ilmu dari mulai desain hingga cetak-mencetak,
bahkan sampai kepada security printing. Sebelumnya saya adalah sebuah
mahasiswa Desain Grafis berjenjang D-1, di sebuah LPK di Jogja. Gaji
pertama saya selama 3 bulan adalah 250 rb, kalau sekarang senilai 2
jutaan. Bulan berikutnya saya dikontrak menjadi karyawan tetap dengan
gaji sekitar 400 rb. Lebih dari cukup untuk bersenang-senang ala
bujangan kala itu.
Setelah 2 tahun, saya memutuskan untuk
meneruskan kuliah di ISI Yogyakarta, Fakultas Seni Rupa, Jurusan Seni
Rupa Murni, minat utama Seni Grafis. Tadinya say akira ada
hubungannya dengan Desain Grafis (DKV), namun ternyata tidak,
belakangan saya bersyukur karena jurusan ini semakin menyenangkan
untuk di eksplorasi. Untuk memenuhi kebutuhan, saya memanfaatkan
surat pengalaman kerja (surat wasiat) guna melamar kerja menjadi
freelancer di berbagai perusahaan swasta di Jogja. Mulai dari
perusahaan kaos, penerbit kecil, percetakan besar, mengajar
multimedia, hingga sebuah event organiser terkenal di Jogja. Disat
sekolah desain grafis mulai menjadi favorit dan 'sexy', saya sudah
melanglang buana dengan segudang pengalaman menjadi freelancer (kutu
loncat) kreatif. Gaji saya rata-rata 600 rb s/d 3 juta. Sebuah nilai
yang besar untuk kota dengan UMR terendah di Indonesia.
Setelah kira-kira 11 tahun lamanya
hingga tahun 2009, saya bisa mengumpulkan salary 5 s/d 10 jt
perbulan. Sangat cukup untuk seorang tanpa predikat sarjana. Saya
beruntung mempunyai pengalaman ikut mendirikan sebuah perusahaan game
developer dengan distribusi di 3 negara (Indonesia, Singapura,
Malaysia). Belakangan perusahaan yang ikut saya dirikan di Jakarta
tersebut mengalami kebangkrutan secara teratur dan tutup garasi di tahun 2010.
Pensiun Dini
Mimpi saya untuk pensiun dini di usia
30 tahun ternyata menjadi nyata. Walau dengan piutang 14 jt yang
sampai sekarang belum dibayarkan, saya memulai semangat kebebasan
baru. Menemukan sebuah kelahiran baru bersama komunitas yang saya
bangun (blenderindonesia.org). Energi saya untuk bersenang-senang
semakin tidak tebendung. Bersama istri yang saya nikahi tahun 2011,
kami memulai traveling. Tanpa gaji tetap sejak 2011. Nekad!
Walau begitu saya percaya bahwa manusia
hidup bukan hanya dari lembaran kertas berwarna saja. Mencoba
meninggalkan logika, dan ternyata setelah 4 tahun berjalan,
kenyataannya kami hidup berkecukupan tanpa pekerjaan dan gaji tetap.
Sebuah pencapaian baru juga buat istri saya yang sudah merintis karir
selama 7 tahun di Jakarta. Sejak 2011 cita-cita kami berubah,
TRAVELING!.
Di Jogja kehidupan berjalan sangat
menyenangkan. Rumah berhasil kami bangun dalam waktu singkat walau
masih dengan bantuan keluarga (bapak saya pensiunan pegawai PT. KAI).
Tidak ada masalah berarti selama menjalani kehidupan di Jogja, kami
tinggal di sebuah desa terpencil, 4 km dari bibir pantai selatan
Gunung Kidul.
Beberapa lokasi travel berhasil kami
himpun satu demi-satu secara kolektif, Jawa-Bali-Sumatera. Mulai dari
sepeda motor, bus, mobil, kereta, hingga pesawat sudah kami lakukan.
Lalu apa tantangannya? Tantangannya cuma 1, KURS rupiah.
Dollar, Around The World
Saya berpikir ketika traveling ke
Sumatera, dimana nilai KURS antar rupiah dari Jogja ke Medan sangat
“tidak adil” menurut kami. Soal makanan misalnya, di Jogja kami
TERBIASA dengan harga murah dan makanan berkualitas. Artinya dengan
uang 10 rb kami bisa mendapatkan menu yang terbilang mewah. Di Medan
kami harus menahan perut lebih lama untuk bisa menikmati kuliner
dengan kualitas sama. Kesimpulannya untuk bisa traveling ke daerah
diluar Jawa, kami tidak bisa mengandalkan KURS “ala Jogja”.
Sebelumnya saya mendapat pencerahan
dari tamu-tamu (traveller) yang menginap di rumah. Sahabat kami dari
Jerman , Belgia, Amerika, bercerita tentang banyak hal selama mereka
travelling. Beruntung mata uang yang mereka pakai adalah US $, jadi
untuk bepergian ke Asia Tenggara atau negara-negara berkembang
bukanlah hal yang sulit. Ditambah lagi pengalaman saya membuat DVD
Tutorial yang saya distribusikan ke seluruh Indonesia, ternyata
diminati beberapa orang dari luar negeri. Saya bingung untuk
menghargainya, karena memang tidak dipersiapkan untuk shipping
internasional. Jadi dari mulai bahasa sampai kualitas saya pikir
belum cukup. Salah seorang Taiwan menghargai DVD saya US$ 120! (harga
resmi cuma 10 dollar). WOW :)
Pengalaman tersebut adalah sebuah
pernyataan bahwa untuk bisa TRAVELLING dan MENIKMATI KESENANGAN ke
seluruh dunia, maka tindakan MENYAMAKAN KURS adalah mutlak dilakukan!
:)
Hubungan animasi dengan traveling
dimana?
Tunggu dulu. Diawal saya sudah jelaskan
bahwa cerita ini harus dianalogikan terlebih dulu untuk bisa
dihubungkan dengan animasi. Yuk kita mulai.
Bagian dari Dunia
Manusia Indonesia adalah bagian dari
manusia dunia. Bedanya hanya pada lokasi, warna kulit, budaya, dan
bahasa. Selain itu sama saja. Tetap manuasia biasa.
Manusia modern justru membuat
pengorganisasian (baca: pengkotakan) yang semakin lama semakin
sempit. Perbedaan fisik, pola pikir, lokasi, dan SARA dijadikan
pondasi untuk mebuat jarak. Barat dan timur diciptakan, negara di
maju dan berkembang, juga miskin dipisahkan, dan lain sebaginya.
Namun hakikatnya, tetap Manusia Biasa. Titik!
Dari analogi tersebut saya menyimpulkan
bahwa sebaiknya tidak ada perbedaan dari segi pola pikir. Karena
semua manusia biasa, hendaknya kolaborasi dan persaudaraan dibangun
dengan baik. Tak kenal maka tak sayang, maka jika masih membedakan
berarti tidak saling mengenal dengan baik. Dalam ranah ANIMASI pun
begitu, kenapa masih dikotak-kotakkan lokal dan nasional? Nasional
dan Internasional? Dalam negeri dan luar negeri? Toh pengikatnya
sama, yaitu animasi.
Saya sebagai pelaku animasi tidak
setuju dengan pengkotakan dan standarisasi yang pada akhirnya
mengkerdilkan kratifitas dan inovasi. Dalam hal tertentu standarisasi
diperlukan. Misalnya dalam urusan teknis (FPS) dan penyiaran (PAL &
NTSC). Beberapa kaitan yang lain bolehlah standar. Namun untuk
distribusi produk, saya pikir sudah saatnya kotak
tersebut “dipecahkan”. Mungkin juga karena saya tidak berpikir secara bisnis
murni, lebih kepada
sociopreneur.
Jika kreatif itu out of the
box, maka saya memilih tidak ada box!
Beda TV Nasional, Layar Lebar, dan
Youtube?
Beberapa teman pernah saya tanyakan
pendapat soal animasi yang tayang di TV nasional dan jaringan
Internet (youtube). Kebanyakan masih mengincar distribusi melalui TV
nasional, goalnya mengarah kesana. Tidak ada yang salah. Beberapa
yang gagal dan belum bisa menembus menyatakan kekecewaan terhadap
peranpemerintah dengan berbagai kebijakannya, dan media TV yang masih
berpihak ke sinetron dan hiburan “nggak jelas” lainnya. Pikiran
kreator memang berbeda dengan selera penonton dan produser yang hanya
memikirkan bisnisnya saja. Apalagi jika disinggung/dibandingan dengan
animasi negara sebelah. Energinya langsung panas dan 'dibuang' dalam
berbagai percakapan sosial media atau forum.
Saya sendiri belum bermimpi ke arah TV.
Selain masih bersenang-senang secara teknis, manajemen dan
komunitas, bagi saya tidak (belum) ada bedanya tanyang di TV atau
Youtube. Beda bayaran iya! Tetapi bukankah keuntungan bisnisnya bisa
dicarikan diluar penjualan produk utamanya? Istilahnya efek samping dari
produk utama (merchandise) dan acara-acara offline.
Adalah sebuah kebangaan (saya juga) jika film
kita bisa diproduksi dengan format bioskop, layar lebar istilahnya.
Apalagi menjadi "yang pertama", iya memang. Namun bukankan untuk menuju kesana masih panjang
jalannya? Bagaimana dengan biaya, kualitas gambar, cerita, dll?
Secara teknis gambar diam (still image) CG artist di Indonesia sudah
bisa membuat kualitas HIGH. Begitu juga TVC (iklan) & film
pendeknya, bagus kualitasnya. Namun untuk film-film panjang berdurasi
diatas 30 menit, saya sendiri masih sangsi (termasuk mengukur diri
sendiri).
Proses menuju kesempurnaan masih
panjang jalan dan aral yang akan dilalui. Nah, sambil berusaha masuk
ke jaringan TV dan Bioskop nasional & internasional, mari
belajar dan meningkatkan kualitas cerita, gambar, manajemen, dan
menciptakan ekosistem yang baik dan siap masuk ke ranah industri yang lebih besar. Karena karya
yang bagus tidak ada gunanya tanpa pelaku dan ekosistem sehat, termasuk
penonton.
KURS = LEVEL
Nah, semakin jelas hubungan antara
animasi dan traveling, ada pada KURS atau bisa juga disebut LEVEL
atau KUALITAS. Jika ingin maju dan go internasional, samakan dulu
level/kurs dari animasinya.
Secara gamblang saya ingin bilang,
daripada makan hati 'belum dihargai' di negara sendiri (nasional),
maka lebih baik ikut meramaikan percaturan dunia animasi
internasional. Lupakan negara, lupakan mental inlander, masyarakat
internasional juga manusia biasa, maka berbagilah dan menjalin kerjasama dengan mereka. Kenal maka sayang. Bedanya hanya proses dan pola pikir mereka
yang lebih dulu didepan, menyangkut animasi. Jika beruntung, samakan juga
harga animasi dengan kurs dollar. Media internet sudah cukup
menunjang untuk itu. Bidang musik, olah raga, desain, dan fine art
sudah lebih dulu kearah sana, hendaknya kita belajar.
Dengan demikian kurs dollar bisa
memberikan nafas baru untuk permodalan dan proses produksi. Beruntung
biaya hidup disini tidak lebih mahal, sehingga dengan bekerja secara
remote maka kita bisa mngeruk dollar lewat kreatifitas dan animasi
kita. Dan hidup lebih layak tentunya :)
...bersambung
1 komentar :
Setuju mas, terutama untuk masalah pendistribusian karya. Saya sempat berfikir tentang distribusi di televisi dan sekarang saya memilih untuk tidak mengejar tv, youtube sudah lebih dari cukup untuk media distribusi
Lebih menjanjikan kepuasan kreator karena lebih bebas dan lifetime :))
Post a Comment