Un-Imaginable

3/23/17

Un-Imaginable


Seringkali ketika menonton film fiksi atau animasi merasakan kebosanan. Kebosanan akut! Awalnya saya asumsikan karena prediksi-prediksi individu dan harapan-harapan alurnya, yang pada akhirnya mendikte film kedalam kebenaran asumsi tersebut. Bisa jadi itu yang pertama.

Percintaan? Tema-tema percintaan memang begitu-begitu saja, menjenuhkan. Keromantisan jaman kakek-nenek kita memang selalu dibayangkan oleh generasi praktis nan instant ini. Sebaliknya, kepraktisan model percintaan pun adalah harapan tabu generasi era oma-opa. Maka ngga pernah nyambung. Dramanya klise sehingga kurang diminati sensor otak yang butuh kebaruan.
Sci-fi? Hmmm, imajinasinya sudah dihabiskan oleh George Lucas lewat Stars War bebrapa dekade lalu, sehingga sci-fi sekarang masih 'gitu-gitu aja', kembali tak menyentil otak pikir. Horor? God Father pun adalah teror yang lebih mengerikan dari horor. Komedi? Hmm, tak ada yang lucu lagi dalam komedi fisik atau komedi satir, Forest Gump dulu pernah berhasil membaui satirsm. Para penulis komedi sekarang mungkin kalah lucu dengan idenya yang ngga lucu itu, atau lebih lucuan politik yang berkomedi.

Apalagi komedi jangkrik itu, sama sekali tak lucu sejak dari 80-an. Sudah tak lucu, tertimpa tangga sekalian, bersambung pulak! Setidaknya bagi saya.

Baru setelah mencoba-coba nonton film yang biasanya tidak ada dalam daftar menu bioskop standar, atau tidak tercantum dalam folder warnet, maka otak ini mulai sumringah kembali. Apalagi jika dalam film-film tersebut aktornya tidak dikenal, atau kultur sinemanya berbeda sekali dengan kultur sinema Holiwut, ada semacam 'jebakan-jebakan imajinasi' yang berhasil mengelabui otak ini. Film-film dokumenter termasuk didalamnya. Staffpick Vimeo, animasi Jepang sebelum era 'otak-otak', atau Holiwut dijaman Marlon Brando memerankan mafia berdarah dingin, adalah seutas pemberi nutrisi otak yang sudah kebal sinema. Serial hacking dan detectif kejahatan maya adalah salah satu list bagi yang melek teknlogi, tidak direkomendasikan bagi yang install softwares aja butuh teknisi. Pun para wanita mulai mengidolakan pria-pria dengan otak seksi tersebut.

Lalu saya menarik sebuah kesimpulan dari contoh-contoh diatas.
"Salah satu syarat kunci film bagus menurut penontonnya adalah 'un-imaginable' bagi yang menonton"

Tidak terimajinasikan dalam bongkahan otak yang menonton bagian manapun. Tidak harus sama antar penonton, karena selera dan pengalaman pikir setiap penonton berbeda. Itulah mengapa, film selalu berhasil menemukan penontonnya sendiri. Yang populer tidak musti jadi acuan, sementara yang 'hidden' dan susah dicari dipermukaan bukan berarti tidak berhasil menemukan penontonnya. Belum saja. Dalam hal ini, distribusi kepada segment nalar yang tepat adalah keperluan yang mendesak.

Jangan sampai salah menonton, apalagi salah membuatnya sebelum tahu kemana hendak 'dipergikan' produk sinema tersebut.

0 komentar :