“KREATIF” ITU MEMBOSANKAN, INOVASI ITU ASIK (bag 1)

10/3/13

“KREATIF” ITU MEMBOSANKAN, INOVASI ITU ASIK (bag 1)




Kata KREATIF belakangan ini menjadi trend dikalangan industri di Indonesia. Kreatifitas menjadi komoditi baru yang diperkirakan bisa mendulang devisa negara. Sehingga pemerintah “latah” dengan mendirikan cabang kementrian baru, Kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif.

Tidak ada yang salah dengan hal ini. Saya hanya ingin menguji pendapat saya mengenai kreatifitas. Walaupun saya lebih senang dengan kata INOVASI. Dalam kamus saya inovasi lebih dekat dengan cara berpikir rakyat Nusantara (baca: Indonesia).

---
KREATIF (adjective)
1. 1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; 2 bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yg -- menghendaki kecerdasan dan imajinasi;
ke·kre·a·tif·an n perihal kreatif

INOVASI | Noun
1. 1 pemasukan atau pengenalan hal-hal yg baru; pembaharuan: -- yg paling drastis dl dasawarsa terakhir ialah pembangunan jaringan satelit komunikasi; 2 penemu-an baru yg berbeda dr yg sudah ada atau yg sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat);
meng·i·no·va·si·kan v menampilkan sesuatu yg baru; mem-perbaharui: sebaliknya setiap satu atau dua tahun para perancang Indonesia dapat ~ perubahan yg sifatnya massal

(sumber: artikata.com)

'Swalayan Surga'

Kita beruntung hidup di sebuah zona ruang dan waktu yang bernama Nusantara. Kekayaan tropis yang kita miliki sunggu tidah ada habis-habisnya. Saya tidak akan bertele-tele menyebutknyanya, dunia sudah paham dan sedang mengincarnya.

Oleh karena alam sudah “bekerja” dengan alami, maka kita tinggal membagi waktu untuk menuainya dengan gembira. Berbagai budaya di tanah air ini sudah sangat cukup menceritakannya. Sehingga muncul berbagai sudut pandang budaya yang beragam yang bisa “dijual” oleh orang-orang berpikiran bisnis.


Berangkat dari hal ini, maka kita terbiasa dengan proses menanam tongkat, kayu menjadi tanaman dan menunggu masa panen tiba. Biasnya sambil menunggu, nenek moyang kita bersosialisasi sehingga tercipta inovasi budaya. Milai dari adat istiadat, bahasa, sampai pada teknologi untuk menunjang keseharian. Dari penelusuran hasil budaya tersebut, kita tahu bahwa sebagian besar terbuat dari hasil alam yang dirangkai menjadi 'benda baru' untuk meningkatkan produktifitas masyarakat.

Diera sebelum ada NKRI, masyarakat kita terbiasa dengan cara barter. Sebuah sistem tidak tertulis untuk berbagi kebudayaan. Mulai dari alat-alat pertanian, hingga menyangkut hukum adat yang bercampur begitu rupa dan rumit jika kita urai lagi. Namun sebenarnya inilah cara kita mencatat sebuah peradaban, tidak dengan tulisan, namun lisan berbentuk tembang, atau ARAN (nama) atau simbol (semiotika). Singkat kata, kebiasaan masyarakat kita adalah INOVASI. Sampai suatu ketika datanglah sebuah ERA NEGARA & INDUSTRI.

Sistem (yang) 'Gumunan'

Kebiasaan berubah setelah terdapat sebuah sistem aturan baru dari kesukuan menjadi sebuah kesatuan bernama negara. Sebuah negara adalah sebuah hukum baru. Perbedaan disatukan dalam bahasa, bendera, bangsa, dll. Tragisnya ini hanya sebuah sistem yang mencontoh kebiasaan barat. Dimana terdapat sebuah perbedaan ekstrim antara barat dan timur. BARAT cenderung disiplin, logis, spesialis, individu, sehingga menciptakan (to create) hal yang belum ada menjadi ada. Seperti teknologi satelit, pesawat, internet, dll. Sedangkan TIMUR adalah sosial, alam, massa, generalis, kurang disiplin, humanis, hingga menciptakan spiritual yang tinggi mulai dari kebatinan hingga ke ranah agama dan inovasi budaya yang majemuk.

Sayangnya, sifat umum dari masyarakat adalah cenderung gumunan (gampang heran) terhadap sesuatu yang baru. Terutama jika hal tersebut berasal dari luar negeri. Kebanyakan menganggap ideologi dan sifat modern kebaratan itu adalah sempurna. Tradisi mulai ditinggalkan, akarnya dicabut, spiritnya dihilangkan. Alhasil, terpaksa (mau tidak mau) arus modern menjadi sebuah ideologi yang “tidak biasa” dianut menurut kebiasaan diatas.

Sesuatu yang humanis (sentuhan tangan) dan customize mulai diindustrikan (diperbanyak). Sebagai imbalannya, karya dan jasa tidak lagi diganti hal serupa, maka “secarik kertas” sebagai penggantinya (baca: uang). Tentu saja karya yang tadinya dibuat dengan 'sentuhan' manusiawi dengan waktu yang sangat luang mulai dipercepat dengan datangnya mesin pengganda. Seketika masyarakat menjadi tidak peka lagi terhadap yang namanya proses inovasi. Yang ada adalah permintaan pasar, pasar, dan pasar!

Frustasi? Ya! Sangat frustasi. Lihatlah, satu demi satu tanah-tanah warisan nilainya lebih rendah dari KURS yang inflasinya 'diatur' oleh entah berantah, SOLD OUT!. Sementara anak-anak kita memiliki kesenangan baru dengan mesin yang berjalan (baca: motor/mobil), gadget, dan teknologi lain yang penggunaannya kurang tepat. Sementara media menguras isi otak dan menggantikannya dengan 'iming-iming modern'. Tentu saja semua menjadi terbuai, dan proses inovasi tersebut menjadi hilang entah kemana.

Industri adalah sebuah kedisiplinan, logika yang logis, mekanisme yang beraturan, terdiri dari spesialis-spesialis yang tergabung dalam sebuah teamwork. Ada sebuah 'pemaksaan' kebiasaan dari agraris ke industrialis. Penuh cucuran keringat, dan butuh waktu yang lama untuk merubah pola tersebut. Belum sampai menyamakan pola, gempuran lain mulai berdatangan. Belum terbiasa mendisiplinkan belajar membaca dan menulis, mendegarkan, sudah digempur arus MULTIMEDIA, dan kita penontonnya. Komplitlah sudah otak motorik, kacau sistemnya.

Sementara kekuatan sebenarnya dari masyarakat kita adalah proses budayanya, bukan banyaknya hasil budaya. Dengan demikian aktor budaya (pelakunya) menjadi sangat penting, karena disinilah kedahsyatan peradaban bermula. Sebagai contoh sang Mpu yang menciptakan keris dengan kualitas adiluhung, dan customize. Sentuhan hmanis pada keris adalah sebuah kelebihan yang tidak bisa dilakukan dengan mesin yang mekanis. Apalagi diperbanyak (cloning).

Kegagapan inilah yang menjadi boomerang bagi kita. Jelas kalau standar barat, maka sampai kapanpun kita akan ketinggalan. Mereka lebih dulu memulai dan berproses dengan berbagai metode logisnya. Sementara itu industri yang seragam adalah pengkerdilan bathin yang berpengaruh pada spiritual. Semuanya runyam karena kapitalisme, yang berarti uang secarik kertas.

INOVASI

Tidak ada yang salah dengan industri jika bijak menyikapinya. Jika kita bisa mengendalikan arusnya dengan baik. Pada level ini rakyat sudah tidak bisa berpengaruh banyak, politiklah yang bisa mengatasinya. Kacaunya, orang yang kita percaya di level pemimpin sudah terjebak politik uang. Keinginan sesaat dan korup. Korupsi diciptakan oleh sistem guna menyulut kesenjangan dan perbudakan industri.

Dalam industri yang 'katanya' kreatif ini, dimana posisi kita. Apakah akan selalu berkiblat ke globalisasi barat?

Ada sebuah cerita menarik ketika saya berjalan-jalan di alun-alun kidul Yogyakarta. Disana saya menemui seorang pengamen transgender (kalau banci terlalu kasar) yang menggunakan sebuah Speaker Active Portable dengan teknologi audio MP3 dalam MMC (Memory Card Reader). Mas/Mbak tersebut menyelipkan speaker tersebut di belahan dadanya yang palsu. Ia menari-nari layaknya diatas panggung untuk kemudian menarik uang recehan sebagai imbalan.

Dari ilustrasi ini saya mengambil kesimpulan, Inovatif! Ya, karena jika kita berpikir kreatif, maka yang kita lakukan adalah membuat sendiri speaker active portable, MMC, batere, mp3, dan teknologi lainnya. Butuh waktu sangat lama dan sepertinya saya tidak yakin kita mencapai kesana 100%, peniti saja impor!. Ia hanya butuh berinovasi dengan teknologi, dirangkai dengan teknologi lain dan jadilah sebuah alat untuk mencari pemasukan. Ini yang saya namakan inovasi. Tidak perlu repot kreatif membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada, tetapi mengkonversi (mengubah) fungsi teknologi dengan sedikit inovasi saja.

Sekali lagi, sejarah bangsa ini adalah berinovasi. Bersekutu dengan alam dan proses untuk menghasilkan budaya baru yang dinamakan inovasi. Semoga Anda tahu yang saya maksud. Hanya dengan mengubah pola pikir kreator menjadi inovator, segalanya berubah. Saya sangat yakin menjadi lebih baik.

... bersambung


0 komentar :