Nonton & Nontoni | Liputan TA Pedalangan

11/11/12

Nonton & Nontoni | Liputan TA Pedalangan






















"Malam itu hanya impian belasan tahun lalu, ketika sang bapak mamak mengajak pertunjukan di desanya. Andi kecil, Ia tak mau pulang walau kelopak matanya mengatup. Malam tadi Ia membuktikan bahwa angan lalunya tak hanya kiasan belaka.Pakeliran 3,5 jam diselesaikannya dengan sangat manis."


Kelir dan Blencong menjadi saksi lakon wayangnya, sebagai pertanggunganjawaban mahasiswa seni pedalangan dalam tugas akhirnya di ISI Yogyakarta. Sebuah pentas rapih nan sederhana di gelar di hadapan mahasiswa dan dosen penguji.

Saya tersentuh dengan rangkaian prosesi awal sampai akhir. Ketika dengan langkah dhodhoknya, Ia berjalan hormat dan menyalami 3 orang guru pembimbing di pendopo. Angan ini teringat sebuah scene pendek di jaman jawa tempo dulu. Ketika seorang abdi memberi hormat kepada raja junjungannya. Sungguh sebuah kesederhanaan yang manis.

Ketika kamera saya mendokumentasikan pertunjukan, saya melihat ke arah kiri, disanalah kedua orang tuanya duduk tenang layaknya tamu lain. Sekali lagi kesederhaan tercermin dalam cara berpakaian mereka. Tidak ada yang spesial. Hanya sebuah kemeja batik bapak dan sepasang baju mamaknya. Namun saya yakin didalam hati dan pikiran mereka, berdiri SOSOK KEBANGAAN kepada sang anak mBarepnya. Terangkai campur aduk heran, senang, sedih, dan nikmat tiada tara, menderu bathin hingga menutup diam bibir mereka. Matanya nyinyir berkaca dan mengalirkan air mata dibawah keriput tuanya. Mata air sebuah kepekatan bathin kepada sang anak.








Andi adalah satu-satunya mahasiswa seni Pedalangan ISI Yogyakarta angkatan 2007 yang tersisa. Setelah 2 orang lainnya mundur dan tidak meneruskan kuliah mereka. Satu bukti bahwa kecintaannya kepada wayang dan seni pedalangan tak pernah terhapus sedari kecil.

Adegan demi adegan bersahutan bersama gendhang dan gendhing para pengrawit. Sulukan merdu memecah kebisuan hening rebab dan pukulan gambang. Bayangan sosok wayang malam tadi membekas di atas kelir dan enggan pergi usai. Dhodhokan cempala dan kepaykan kaki kanannya, berhasil menyapu bersih lakon dalam adegan. Sang Dasamuka pun berhasil memuaskan amarahnya dengan merdu.

Sebuah pelajaran kecil, dikala nasionalisme hanya di dengungkan di wall facebook. Disuarakan dengan cacian kepada sang penjaga negara, dan diperdengarkan hanya sebatas wacana. Andi dan ratusan mahasiswa seni pedalangan kiranya tak perlu semuanya itu. Mereka cukup masuk dan terlibat dalam indahnya jagad pakeliran yang tak pernah usai. Wayang dan serat-serat itu rupanya tak lagi sendiri, karena sesungguhnya teman mereka hanyalah sebuah kebiasaan menyuarakan kebesaran dan keadiluhungan tinggalan nenek moyang bangsa ini.

Dulu mungkin Andi hanya seorang penonton kecil diantara ratusan yang lain. Namun kin Ia berhasil 'ditonton' dan 'menontoni' puluhan anak-kecil lain yang mungkin saja menginspirasi mereka seperti Ia dulu terinspirasi. Begitulah putaran budaya terjadi, menularkan dan menulari turun-temurun.

Selamat kepada kakak kelas kami Andi atas keberhasilannya menyelesaikan tugas akhir seni pedalangan. Juga kepada segenap Mahasiswa Jurusan Pedalangan yang telah 'mrantasi gawe' dan menghimpun sebuah pertunjukkan indah dan menggema.

Kini Wayang-wayang itu tak lagi sendiri!